Sumber : by. Ari Creator Poster
Hari
Hak Asasi Manusia dirayakan tiap tahun oleh banyak negara termasuk Indonesia di
seluruh dunia setiap tanggal 10 Desember. Ini dinyatakan oleh International
Humanist and Ethical Union (IHEU) sebagai hari resmi perayaan kaum Humanisme.
Tanggal
ini dipilih untuk menghormati Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang
mengadopsi dan memproklamasikan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, sebuah
pernyataan global tentang hak asasi manusia, pada 10 Desember 1948. Peringatan
dimulai sejak 1950 ketika Majelis Umum mengundang semua negara dan organisasi
yang peduli untuk merayakan.
Hak
Asasi Manusia (HAM) adalah prinsip-prinsip moral atau norma-norma, yang
menggambarkan standar tertentu dari perilaku manusia, dan dilindungi secara
teratur sebagai hak-hak hukum dalam hukum kota dan internasional. Mereka
umumnya dipahami sebagai hal yang mutlak sebagai hak-hak dasar "yang
seseorang secara inheren berhak karena dia adalah manusia", dan yang
"melekat pada semua manusia" terlepas dari bangsa, lokasi, bahasa,
agama, asal-usul etnis atau status lainnya. Ini berlaku di mana-mana dan pada
setiap kali dalam arti yang universal, dan ini egaliter dalam arti yang sama
bagi setiap orang. HAM membutuhkan empati dan aturan hukum dan memaksakan
kewajiban pada orang untuk menghormati hak asasi manusia dari orang lain.
Mereka tidak harus diambil kecuali sebagai hasil dari proses hukum berdasarkan
keadaan tertentu; misalnya, hak asasi manusia mungkin termasuk kebebasan dari
penjara melanggar hukum , penyiksaan, dan eksekusi.
PASAL-PASAL
DALAM UUD 1945 YANG MENGATUR TENTANG HAM
Pasal
27 ayat 1
1)
"Segala warga negara bersamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan
dan wajib menjungjung hukum dan pemerinatah itu dengan tidak ada
kecualinya".
Pasal
27 Ayat 3
(3)
"Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan
negara."
Pasal
27 Ayat 2
(2)
Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.
Pasal
28
"Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang"
Pasal
28 A
Setiap
orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya
Pasal
28 B ayat 1
(1)
Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah
Pasal
28 B ayat 2
(2)
Setiap orang berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak
atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
LALU BAGAIMANA KASUS-KASUS HAM YANG BERADA DI INDONESIA, APAKAH SUDAH MENDAPATKAN PERLINDUNGAN DAN PENANGAN YANG SERIUS ?
Tercatat Indonesia sudah beberapa kali terjadi pelanggaran HAM berat seperti :
1. PEMBATAIAN MASSAL PERISTIWA G30S/PKI 1965
Pembersihan
dimulai pada Oktober 1965 di Jakarta, yang selanjutnya menyebar ke Jawa Tengah
dan Timur, dan Bali. Pembantaian dalam skala kecil dilancarkan di sebagian
daerah di pulau-pulau lainnya, terutama Sumatera. Pembantaian terburuk meletus
di Jawa Tengah dan Timur. Korban jiwa juga dilaporkan berjatuhan di Sumatera
utara dan Bali. Petinggi-petinggi PKI diburu dan ditangkap: petinggi PKI,
Njoto, ditembak pada tanggal 6 November, ketua PKI Dipa Nusantara Aidit pada 22
November, dan Wakil Ketua PKI M.H. Lukman segera sesudahnya.
Pemimpin-pemimpin
militer yang diduga sebagai simpatisan PKI dicabut jabatannya. Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Kabinet 100 Menteri dibersihkan dari
pendukung-pendukung Soekarno. Pemimpin-pemimpin PKI segera ditangkap, bahkan
beberapa dibunuh pada saat penangkapan, sisanya dihukum mati melalui proses
persidangan pura-pura untuk konsumsi HAM Internasional. Petinggi angkatan
bersenjata menyelenggarakan demonstrasi di Jakarta. Pada tanggal 8 Oktober,
markas PKI Jakarta dibakar. Kelompok pemuda anti-komunis dibentuk, contohnya
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia
(KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), dan Kesatuan Aksi
Sarjana Indonesia (KASI). Di Jakarta dan Jawa Barat, lebih dari 10.000 aktivis
dan petinggi PKI ditangkap, salah satunya Pramoedya Ananta Toer.
Di
beberapa tempat, milisi tahu tempat bermukimnya komunis dan simpatisannya,
sementara di tempat lain tentara meminta daftar tokoh komunis dari kepala desa.
Keanggotaan PKI tidak disembunyikan dan mereka mudah ditemukan dalam
masyarakat. Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta menyediakan daftar 5.000
orang yang diduga komunis kepada angkatan bersenjata Indonesia.
Warga
keturunan Tionghoa juga turut menjadi korban. Beberapa dari mereka dibunuh, dan
harta benda mereka dijarah.[27] Di Kalimantan Barat, sekitar delapan belas
bulan setelah pembantaian di Jawa, orang-orang Dayak mengusir 45.000 warga
keturunan Tionghoa dari wilayah pedesaan. Ratusan hingga ribuan di antara
mereka tewas dibantai.
Metode
pembantaian meliputi penembakan atau pemenggalan dengan menggunakan pedang
samurai Jepang. Mayat-mayat dilempar ke sungai, hingga pejabat-pejabat mengeluh
karena sungai yang mengalir ke Surabaya tersumbat oleh jenazah. Di wilayah
seperti Kediri, Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama menyuruh orang-orang
komunis berbaris. Mereka lalu menggorok leher orang-orang tersebut, lalu
jenazah korban dibuang ke sungai. Pembantaian ini mengosongkan beberapa bagian
desa, dan rumah-rumah korban dijarah atau diserahkan ke angkatan bersenjata.
Pembantaian
telah mereda pada Maret 1966, meskipun beberapa pembersihan kecil masih
berlangsung hingga tahun 1969. Penduduk Solo menyatakan bahwa meluapnya sungai
Bengawan Solo yang tidak biasa pada Maret 1966 menandai berakhirnya
pembantaian.
JUMLAH KORBAN
Meskipun
garis besar peristiwa diketahui, namun tidak banyak yang diketahui mengenai
pembantaiannya, dan jumlah pasti korban meninggal hampir tak mungkin diketahui.
Hanya ada sedikit wartawan dan akademisi Barat di Indonesia pada saat itu.
Angkatan bersenjata merupakan satu dari sedikit sumber informasi, sementara
rezim yang melakukan pembantaian berkuasa sampai tiga dasawarsa. Media di
Indonesia ketika itu dibatasi oleh larangan-larangan di bawah "Demokrasi
Terpimpin" dan oleh "Orde Baru" yang mengambil alih pada Oktober
1966. Karena pembantaian terjadi di puncak Perang Dingin, hanya sedikit
penyelidikan internasional yang dilakukan, karena berisiko memperkusut prarasa
Barat terhadap Soeharto dan "Orde Baru" atas PKI dan "Orde
Lama".
Dalam
waktu 20 tahun pertama setelah pembantaian, muncul tiga puluh sembilan perkiraan
serius mengenai jumlah korban. Sebelum pembantaian selesai, angkatan bersenjata
memperkirakan sekitar 78.500 telah meninggal sedangkan menurut orang-orang
komunis yang trauma, perkiraan awalnya mencapai 2 juta korban jiwa. Di kemudian
hari, angkatan bersenjata memperkirakan jumlah yang dibantai dapat mencapai
sekitar 1 juta orang. Pada 1966, Benedict Anderson memperkirakan jumlah korban
meninggal sekitar 200.000 orang dan pada 1985 mengajukan perkiraan mulai dari
500,000 sampai 1 juta orang. Sebagian besar sejarawan sepakat bahwa setidaknya
setengah juta orang dibantai, lebih banyak dari peristiwa manapun dalam sejarah
Indonesia. Suatu komando keamanan angkatan bersenjata memperkirakan antara
450.000 sampai 500.000 jiwa dibantai.
Para
korban dibunuh dengan cara ditembak, dipenggal, dicekik, atau digorok oleh
angkatan bersenjata dan kelompok Islam. Pembantaian dilakukan dengan cara
"tatap muka", tidak seperti proses pembantaian massal oleh Khmer
Merah di Kamboja atau oleh Jerman Nazi di Eropa.
PENAHANAN
Penangkapan
dan penahanan berlanjut sampai sepuluh tahun setelah pembantaian. Pada 1977,
laporan Amnesty International menyatakan "sekitar satu juta" kader
PKI dan orang-orang yang dituduh terlibat dalam PKI ditahan.[50] Antara 1981
dan 1990, pemerintah Indonesia memperkirakan antara 1.6 sampai 1.8 juta mantan
tahanan ada di masyarakat. Ada kemungkinan bahwa pada pertengahan tahun
1970-an, 100.000 masih ditahan tanpa adanya proses peradilan. Diperkirakan
sebanyak 1.5 juta orang ditahan pada satu waktu atau lainnya. Orang-orang PKI
yang tidak dibantai atau ditahan berusaha bersembunyi sedangkan yang lainnya
mencoba menyembunyikan masa lalu mereka. Mereka yang ditahan termasuk pula
politisi, artis dan penulis misalnya Pramoedya Ananta Toer , serta petani dan
tentara. Banyak yang tidak mampu bertahan pada periode pertama masa penahanan
dan akhirnya meninggal akibat kekurangan gizi dan penganiayaan. Ketika
orang-orang mulai mengungkapkan nama-nama orang komunis bawah tanah, kadang
kala di bawah siksaan, jumlah orang yang ditahan semakin meninggi pada 1966–68.
Mereka yang dibebaskan seringkali masih harus menjalani tahanan rumah dan secara
rutin mesti melapor ke militer. Mereka juga sering dilarang menjadi pegawai
pemerintah, termasuk juga anak-anak mereka.
2. KASUS PENEMBAKAN MISTERIUS (PETRUS) 1982-1985
Penembakan
misterius atau sering disingkat Petrus adalah suatu operasi rahasia dari
Pemerintahan Suharto pada tahun 1980-an untuk menanggulangi tingkat kejahatan
yang begitu tinggi pada saat itu. Operasi ini secara umum adalah operasi
penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu
keamanan dan ketentraman masyarakat khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah.
Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap, karena itu muncul istilah
"petrus" (penembak misterius).
Petrus
berawal dari operasi peÂnangÂgulangan kejahatan di Jakarta. Pada tahun 1982,
Soeharto memberikan pengÂharÂgaan kepada Kapolda Metro Jaya, Mayjen Pol Anton
Soedjarwo atas keberÂhaÂsilan membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat.
Pada Maret tahun yang sama, di hadapÂan Rapim ABRI, SoeharÂto meminta polisi
dan ABRI mengambil langÂkah pemberantasan yang efektif meÂneÂkan angka
kriminalitas. Hal yang sama diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16
Agustus 1982. Permintaannya ini disambut oleh PangÂÂÂopkamtib Laksamana Soedomo
daÂlam rapat koordinasi dengan Pangdam JaÂya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan
Wagub DKI Jakarta di Markas Kodam Metro JaÂya tanggal 19 Januari 1983. Dalam
rapat itu diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini
kemudian diikuti oleh kepolisian dan ABRI di maÂsing-masing kota dan provinsi
lainnya.
AKIBAT
Pada
tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka
tembakan. Pada Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di anÂÂtaranya 15 orang tewas
ditembak. TaÂhun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di anÂtaranya tewas ditembak.
Para korban PeÂtrus sendiri saat ditemukan masyarakat daÂlam kondisi tangan dan
lehernya teÂriÂkat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang
ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laÂut, hutan dan
kebun. Pola pengambilan paÂra korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal
dan dijemput aparat keÂamanan. Petrus pertama kali dilancarkan di Yogyakarta
dan diakui terus terang M Hasbi yang pada saat itu menjabat sebagai Komandan
Kodim 0734 sebagai operasi pembersihan para gali (Kompas, 6 April 1983).
Panglima Kowilhan II Jawa-Madura Letjen TNI Yogie S. Memet yang punya rencana
mengembangkannya. (Kompas, 30 April 1983). Akhirnya gebrakan itu dilanjutkan di
berbagai kota lain, hanya saja dilaksanakan secara tertutup.
KONTROVERSI
Masalah
Petrus waktu itu memang jadi berita hangat, ada yang pro dan kontra, baik dari
kalangan hukum, politisi sampai peÂmegang kekuasaan. Amnesti Internasional pun
juga mengirimkan surat untuk menanyakan kebijakan pemerintah Indonesia ini.
KORBAN SELAMAT
Bathi
Mulyono yang selamat setelah bersembunyi 1,5 tahun di hutan Gunung Lawu.
3. KERUSUHAN 1998
Sumber : Kompas
Kerusuhan
Mei 1998 adalah kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa yang terjadi di
Indonesia pada 13 Mei-15 Mei 1998, khususnya di Ibu Kota Jakarta namun juga
terjadi di beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia
dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti
ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998. Dan penurunan jabatan
Presiden Soeharto.
4. MENGHILANG DAN TERBUNUHNYA AKTIVIS
Penculikan
aktivis 1997/1998 adalah peristiwa penghilangan orang secara paksa atau
penculikan terhadap para aktivis pro-demokrasi yang terjadi menjelang
pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1997 dan Sidang Umum Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1998.
Peristiwa
penculikan ini dipastikan berlangsung dalam tiga tahap: Menjelang pemilu Mei
1997, dalam waktu dua bulan menjelang sidang MPR bulan Maret, sembilan di
antara mereka yang diculik selama periode kedua dilepas dari kurungan dan
muncul kembali. Beberapa di antara mereka berbicara secara terbuka mengenai
pengalaman mereka. Tapi tak satu pun dari mereka yang diculik pada periode
pertama dan ketiga muncul.
KORBAN
Selama
periode 1997/1998, KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan) mencatat 23 orang telah dihilangkan oleh alat-alat negara. Dari
angka itu, 1 orang ditemukan meninggal (Leonardus Gilang), 9 orang dilepaskan
penculiknya, dan 13 lainnya masih hilang hingga hari ini. dan penculikan itu
terjadi saat masa kepemimpinan Jenderal tertinggi ABRI, Wiranto.
Sembilan
aktivis yang dilepaskan adalah:
1. Desmond
Junaidi Mahesa, diculik di Lembaga Bantuan Hukum Nusantara, Jakarta, 4 Februari
1998
2. Haryanto
Taslam ,
3. Pius
Lustrilanang, diculik di panpan RSCM, 2 Februari 1998 [3][4]
4. Faisol
Reza, diculik di RSCM setelah konferensi pers KNPD di YLBHI, Jakarta, 12 Maret
1998
5. Rahardjo
Walujo Djati, diculik di RSCM setelah konferensi pers KNPD di YLBHI, Jakarta,
12 Maret 1998
6. Nezar
Patria, diculik di Rumah Susun Klender, 13 Maret 1998
7. Aan
Rusdianto, diculik di Rumah Susun Klender, 13 Maret 1998
8. Mugianto,
diculik di Rumah Susun Klender, 13 Maret 1998
9. Andi
Arief, diculik di Lampung, 28 Maret 1998
Ke-13
aktivis yang masih hilang dan belum kembali berasal dari berbagai organisasi,
seperti Partai Rakyat Demokratik, PDI Pro Mega, Mega Bintang, dan mahasiswa. :
1. Petrus
Bima Anugrah (mahasiswa Universitas Airlangga dan STF Driyakara, aktivis SMID.
Hilang di Jakarta pada 30 Maret 1998)
2. Herman
Hendrawan (mahasiswa Universitas Airlangga, hilang setelah konferensi pers KNPD
di YLBHI, Jakarta, 12 Maret 1998)
3. Suyat
(aktivis SMID. Dia hilang di Solo pada 12 Februari 1998)
4. Wiji
Thukul (penyair, aktivis JAKER. Dia hilang diJakarta pada 10 Januari 1998) [16]
5. Yani
Afri (sopir, pendukung PDI Megawati, ikut koalisi Mega Bintang dalam Pemilu
1997, sempat ditahan di Makodim Jakarta Utara. Dia hilang di Jakarta pada 26
april 1997)
6. Sonny
(sopir, teman Yani Afri, pendukung PDI Megawati. Hilang diJakarta pada 26 April
1997)
7. Dedi
Hamdun (pengusaha, aktif di PPP dan dalam kampanye 1997 Mega-Bintang. Hilang di
Jakarta pada 29 Mei 1997)
8. Noval
Al Katiri (pengusaha, teman Deddy Hamdun, aktivis PPP. Dia hilang di Jakarta
pada 29 Mei 1997)
9. Ismail
(sopir Deddy Hamdun. Hilang di Jakarta pada 29 Mei 1997)
10. Ucok
Mundandar Siahaan (mahasiswa Perbanas, diculik saat kerusuhan 14 Mei 1998 di
Jakarta)
11. Hendra
Hambali (siswa SMU, raib saat kerusuhan di Glodok, Jakarta, 15 Mei 1998)
12. Yadin
Muhidin (alumnus Sekolah Pelayaran, sempat ditahan Polres Jakarta Utara. Dia
hilang di Jakarta pada 14 Mei 1998)
13. Abdun
Nasser (kontraktor, hilang saat kerusuhan 14 Mei 1998, Jakarta)
Mugiyanto,
Nezar Patria, Aan Rusdianto (korban yang dilepaskan) tinggal satu rumah di
rusun Klender bersama Bimo Petrus (korban yang masih hilang). Faisol Reza,
Rahardjo Walujo Djati (korban yang dilepaskan), dan Herman Hendrawan (korban
yang masih hilang) diculik setelah ketiganya menghadiri konferensi pers KNPD di
YLBHI pada 12 Maret 1998.
Tentuya kasus-kasus diatas dan kasus lainnya yang belum terungkap masih menjadi tanda tanya besar, bagaimana kasus pelanggaran HAM bisa terjadi di Indonesia ?
Berikan Komentar dan pendapat anda tentang penerapan HAM di Indonesia ?
Merdeka...!!!
BalasHapus